Thursday, May 21, 2009

Olympus E-500 dan lensa manual fokus.



Memang benar kalau dikatakan manusia itu tidak pernah puas, karena saya sendiri merasakan dan terkena ‘racun’ itu ketika bermain dengan lensa-lensa manual fokus yang notabene lensa lama dari era SLR mekanik keluaran 40 atau 50 tahun yang silam. Lensa-lensa tua itu saya pasangkan ke kamera DSLR Nikon D40 dengan memakai adapter yang saya pesan via internet dari pedagang yang menjajakan barang-barangnya lewat forum-forum penggemar fotografi, seperti Fotografer.Net dan AyoFoto.Net. Senang rasanya bermain dengan lensa-lensa lama ini karena saya menikmati ritual mencari focus dengan memutar-mutar gelang focus di lensa dan memainkan gelang diagfragma untuk mendapatkan hasil foto yang bagus. Bedanya sekarang ini dengan adanya LCD di DSLR saya dapat dengan segera mereview hasil pemotretan yang baru diambil.

Hanya sayang, kamera dari keluarga Nikon mempunyai jarak lensa ke sensor / film (flange) yang termasuk panjang dibandingkan dengan kamera merk lain, yaitu sekitar 46,5 cm, sehingga hanya sedikit lensa lama yang dapat di pasangkan ke DSLR Nikon tanpa memerlukan optik tambahan di adapternya, sedangkan dengan memakai optik tambahan berarti mengurangi kwalitas lensa dalam menyalurkan cahaya ke sensor dan juga meningkatkan harga adapternya itu sendiri. Kalaupun dipaksakan memakai adapter tanpa optik tambahan, akibatnya lensa-lensa itu tidak dapat memfokus pada jarak jauh / tak terhingga sehingga hanya dapat berguna seperti lensa makro untuk memotret obyek dari jarak dekat.

Kamera dengan jarak flange yang pendek adalah kamera-kamera dari keluarga Canon dan Olympus dengan sistem EOS dan 4/3 nya. Saking penasarannya ingin mencoba berbagai lensa tua, mulai terpikirlah untuk mencari kamera dari keluarga Canon atau Olympus ini. DSLR Canon memang termasuk merk popular sehingga harganyapun cukup ‘populer’, agak berbeda dengan Olympus yang mempunyai corp factor 2x dan sensor yang lebih kecil sehingga harga nya pun lebih bersahabat, apa lagi bila kita memilih membelinya dalam kondisi bekas pakai. Begitu juga saran dari anggota forum diskusi yang ada, umumnya mereka menyarankan Olympus bila memang kita berniat memasangkan berbagai lensa manual dengan DSLR mengingat sistem 4/3 nya yang sangat kecil sehingga memungkinkan untuk dipasangkan dengan berbagai macam lensa dari berbagai merek dengan memakai adapter tanpa memerlukan optik tambahan.

Kebetulan dari salah satu forum yang rajin saya ikuti, ada yang menjual Olympus E-500 dengan harga yang saya anggap bagus. E-500 memang bukan seri terbaru dari Olympus, tapi penggemar Olympus menyenangi tipe ini karena sensornya masih dibuat oleh Kodak yang terkenal dengan warnanya yang natural dan juga adanya fasilitas pembersih sensor otomatisnya. Kekurangan yang utama bagi penggemar lensa manual fokus adalah viewfinder nya yang kecil, sehingga agak sulit melakukan pencarian fokus yang tepat secara manual.




Oh ya, sebelumnya saya sudah lebih dulu mempersiapkan adapter lensa-lensa tua ini untuk dipasangkan ke kamera Olympus, sehingga ketika kamera pesanan saya datang (yang memang saya beli dalam kondisi body only / BO) saya dapat langsung mencoba memasangkannya dengan lensa manual yang saya miliki. Sangat senang saya ketika mendapatkan bahwa sistem pengukuran cahaya di E-500 ini dapat berfungsi di mode A dan M, sehingga memudahkan kita mendapatkan pengaturan pencahayaan yang tepat. Berbeda dengan Nikon D40 yang pengukur cahayanya sama sekali tidak dapat dipakai dengan lensa-lensa manual ini. Selain itu, banyaknya tombol pintas untuk pengaturan ISO, White balance dan metering menyebabkan saya merasakan kamera ini lebih cocok untuk dijadikan kamera hobi dan memasangkannya dengan lensa manual fokus yang ada. Sedangkan untuk Nikon D40 saya, akhirnya saya putuskan untuk mencarikannya lensa standar berfokus automatis, dan rencananya akan digunakan untuk acara pemotretan acara-acara penting, mengingat pada saat seperti itu kita membutuhkan kecepatan, ketepatan dan kepraktisan yang akan sulit didapatkan bila saya menggunakan lensa-lensa berfokus manual.

Untuk Olympus E-500, saat ini saya sudah mempunyai adapter untuk lensa dengan dudukkan Pentax PK, Pentax M42, Minolta MD, Nikon F dan Canon FD. Khusus untuk Canon FD, ternyata tetap saja tidak dapat memfokus pada infinity sehingga lensa-lensa Canon lama saya belum dapat berfungsi optimal dengan DSLR saya yang baru ini. Sedangkan untuk lensa Pentax PK, sering ada bagian belakang lensa yang terkait dengan bagian kamera sehingga menyulitkan pemasangan dan pelepasan dari badan kameranya, hal ini tentu saja membuat saya khawatir untuk memakainya karena jangan sampai lensa lama ini justru merusak kamera DSLR saya. Akhirnya hanya lensa dengan dudukkan Nikon F, Minolta MD dan Pentax M42 yang dapat berfungsi optimal bersama Olympus E-500 ini. Mungkin kelak saya akan menambah dengan adapter untuk lensa yang memakai dudukan Contax/Yashica, mengingat lensa-lensa keluaran Contax termasuk lensa manual yang mempunyai daya pisah cukup tajam.

Untuk lensa manual fokus yang ada, saya berkeinginan untuk melengkapinya, dengan mengelompokkannya sesuai dengan panjang fokus. Mulai dari lensa lebar berfokus 28mm (atau kalau mungkin lebih rendah lagi….) hingga lensa tele berfokus 200mm. Mengingat sistem 4/3 mempunyai sudut pandang yang lebih sempit dengan crop factor 2x, akibatnya efek lensa lebar agak sulit didapat tapi efek tele dapat dengan mudah kita temui karena bila kita memakai lensa 200mm pada kamera ini sudut pandang yang tampak adalah seakan kita memakai lensa berfokus 400mm!




Semakin senanglah saya mengumpulkan barang-barang rongsokkan ini, tapi saya mulai sadar bahwa kita tidak boleh terbawa nafsu untuk mencoba dan membeli berbagai lensa yang banyak ditawarkan dengan harga jauh dibawah harga lensa berfokus automatis, karena jujur saja saya sendiri belum berani mengandalkan lensa-lensa manual fokus ini untuk memotret pada acara-acara tertentu, sampai saat ini lensa-lensa tua ini tidak lebih hanya murni untuk hobi saja. Sehingga kalau dilihat dari segi ekonomisnya, walaupun lensa manual fokus ini lebih murah tapi penggunaannya pun sangat terbatas sehingga dirasa kurang efektif, karena diluar memotret untuk hobi saya tetap mengandalkan lensa berfokus automatis yang lebih cepat dan didukung penuh oleh fungsi pengukuran cahaya DSLR Nikon D40 saya. Terdengar konyol memang, menyenangi lensa manual fokus tapi tetap tidak berani mengandalkannya untuk pemotretan penting. Tapi saya pikir, memang itulah ongkos yang harus kita bayar untuk sebuah hobi, walau kadang terkesan menghambur-hamburkan uang untuk kepuasan batin semata, sejauh kita tahu kapan harus berhenti saya pikir hal itu wajar-wajar saja. Bagaimana menurut anda?

Thursday, April 16, 2009

Lensa Manual Fokus Yang Mengasyikkan




Setelah kurang lebih satu bulan bermain dengan DSLR Nikon D40 yang dipasangkan dengan lensa-lensa manual fokus keluaran tahun 70-80an, rasanya tidak juga timbul keinginan untuk mencari lensa modern dengan kemampuan fokus automatis dan pengaturan pencahayaan yang beragam. Mungkin karena memang saya sudah terlanjur terbiasa dengan pengaturan bukaan diagfragma, shutter speed, ASA/ISO dan pencarian fokus secara manual seperti pada era kamera SLR analog dulu, sehingga 'keterbatasan' lensa-lensa lama ini justru saya rasakan sebagai suatu 'keasyikkan' tersendiri dalam bermain-main dengan kamera.

Keasyikan ini semakin menjadi setelah saya temukan beberapa forum diskusi di internet yang khusus membahas dan menampilkan foto-foto hasil lensa manual, yang menurut saya hasilnya betul-betul luar biasa. Memang hasil foto tidak semata ditentukan oleh alat yang digunakan, tapi lebih ditentukan oleh siapa dan bagaimana si fotografer dapat mempergunakan alat-alat yang ada untuk menghasilkan foto-foto yang menarik dan berseni. Walaupun demikian, lensa manual fokus dan khususnya yang mempunyai panjang titik api tetap (fixed focus, bukan lensa zoom) dari dulu memang dibuat dengan bahan gelas/kaca yang tergolong bagus, juga didukung dengan bukaan diagfragma maksimal yang lebar sehingga termasuk lensa-lensa kuat/cepat. Bukaan diagfragma yang lebar juga menyebabkan ruang tajam (depth of field = DOF) yang sempit, sehingga benar-benar hanya titik yang kita fokus yang akan jelas sedangkan bagian yang lebih dekat dan lebih jauh akan terlihat out-of-focus.

Ada link bagus di web yang menerangkan masalah Depth Of Field, lenkap dengan kalkulator perhitungan ruang tajam pada berbagai ukuran lensa. Link nya ada di bawah ini :

http://www.dofmaster.com/dofjs.html

DOF sempit yang akan menghasilkan suatu ruang isolasi bagi obyek utama (focus of interest = FOI) yang kita pilih untuk in-focus. Keunikan lain yang timbul adalah daerah out-of-focus di belakang obyek utama ini akan menampilkan suatu daerah kabur (bokeh) yang mempunyai pola-pola khusus, tergantung konstruksi dari lensanya. Lensa-lensa lama produksi pabrik negara-neraga di Eropa, khususnya Jerman, dengan merk Leizt (Leica), Carl-Zeiss (Contax) dan Reveunon mempunyai reputasi yang sangat baik untuk menghasilkan bokeh yang menarik pada bukaan lensa maksimal. Hasilnya juga tajam, berbeda dengan lensa 'kelas bawah' yang baru timbul ketajaman gambarnya setelah bukaan diagfragma 5,6 keatas.


Dari forum-forum diskusi ini juga saya dapat informasi bahwa sekarang sudah banyak dijual semacam adapter untuk memasangkan lensa dan kamera dari merk yang berbeda. Jadi lensa Nikon bisa dipasang di kamera Canon, lensa kuno dengan dudukan ulir berkode M42 keluaran Pentax (sebelum tahun 1975) juga dapat dipasangkan ke kamera digital modern dengan menggunakan adapter-adapter khusus. Tentu saja semua pengaturan pencahayaan dan diagfagmanya harus dilakukan secara manual penuh, karena adapter-adapter itu umumnya hanya menjembatani supaya lensa dengan dudukan/bayonet yang berbeda dengan dudukan lensa di kamera dapat di pasangkan, namun tidak ada 'komunkiasi' antara lensa dan kamera selain meneruskan cahaya dari obyek. Jadi informasi berapa bukaaan diagfragma yang kita pilih tidak akan diketahui oleh kameranya, meskipun pengukur cahaya pada beberapa kamera masih dapat berfungsi, begitu juga fungsi automatis Aperture, karena kamera tersebut 'membaca' secara langsung berapa banyak sinar yang masuk melalui lensa itu tanpa memperdulikan berapa sebenarnya bukaan diagfragma yang dipilih.

Memang tidak semua lensa lama dapat dipasangkan ke semua lensa digital. Hal itu disebabkan karena jarak dari bagian belakang lensa ke film (mounting flange sampai ke focal plane) pada setiap merk berbeda. Jadi bila lensa dengan jarak 'flange' nya pendek sudah pasti tidak dapat dipasangkan dengan kamera yang mempunyai flange panjang, karena lensa itu tidak dapat menghasilkan bayangan yang terfokus pada sensor/film. Memang dengan optik tambahan di adapter, kita bisa 'memaksakan' agar lensa dengan flange pendek terpasang di kamera yang mempunyai jarak flange yang panjang tapi hal ini jelas mengurangi kwalitas lensa itu karena optik tambahan pada adapter umumnya tidak sebaik kwalitas optik lensa itu sendiri.

Lensa dudukan ulir berukuran 42mm (M42) adalah lensa dengan flange terpanjang, sehingga lensa ini menjadi favorite para penggemar lensa manual karena dapat dipasangkan hampir kesemua kamera digital, berikutnya berturut-turut adalah Nikon F, Pentax K, Minolta MC/MD, Canon EOS, Canon FD dan terakhir Olympus/Panasonic 4/3. Sedangkan kamera dengan jarak flange terpendek adalah Olympus dengan dudukan 4/3 nya, sehingga hampir semua jenis lensa dapat dipasang pada kamera ini tanpa memerlukan koreksi optik tambahan di adapternya.

Seandainya hal ini saya ketahui sebelum saya memutuskan membeli kamera DSLR Nikon, mungkin pilihan saya bisa berbeda karena alasan saya memilih merk Nikon adalah supaya lensa-lensa lama saya yang kebanyakan memakai dudukan/bayonet Nikon, masih dapat dipergunakan. Padahal kamera Nikon dengan jarak flange yang cukup panjang, membuatnya sulit untuk dipasangkan dengan lensa lain selain merk Nikon sendiri. Mungkin sebaiknya saya memilih Canon atau bahkan Olympus yang dapat dengan mudah dipasangkan dengan berbagai lensa tanpa memerlukan tambahan optik untuk dapat memfokus pada obyek di jarak tak terhingga (infinity).

Tapi pengetahuan ini juga menimbulkan keinginan baru untuk mulai mencoba mencari berbagai lensa tua dengan harga yang relatif terjangkau untuk dipasangkan pada kamera Nikon D40 saya. Mulailah lagi penelusuran berbagai situs jual beli alat-alat fotografi di internet untuk mendapatkan lensa-lensa yang direkomendasikan atau banyak menjadi topik diskusi di forum penggermar lensa manual fokus itu. Tentu saja saya tetap membatasi anggaran untuk membeli lensa dan adapternya sebesar angka tertentu yang saya anggap 'wajar' untuk sebuah hobby, karena bila tidak sudah pasti kita terpancing untuk mengumpulkan berbagai lensa kelas wahid dengan harga berjuta-juta hingga puluhan juta rupiah......sebuah nilai yang kadang tidak masuk akal untuk harga sebuah lensa 'tua', karena harganya bersaing atau bahkan di atas harga lensa modern yang mempunyai kemampuan autofokus sekalipun.

Saya 'hanya' berniat mencari (dan membeli) beberapa lensa dengan ukuran fokus berbeda, mulai dari 28mm hingga 300mm. Karena sebelumnya saya juga sudah memiliki lensa Nikon fixed dengan fokus 35mm dan 50mm, maka perburuan saya ini tidak akan terlalu banyak memboroskan amunisi kantong, demikian niatan saya dari awal. Setelah lebih kurang 2 bulan, terkumpullah beberapa lensa yang bila dilihat dari segi kosmetik body luarnya sudah pasti tidak akan menarik karena tampak sekali sebagai lensa tua/antik, bahkan beberapa sudah tampak pernah di bongkar. Namun kondisi optik nya rata-rata termasuk cukup baik, tidak berjamur dan tidak berkabut (fog) serta masih mempunyai pelapis (coating) anti pantulan cahaya yang datang dari arah depan.


Lensa-lensa koleksi saya sekarang bertambah dengan datangnya gerombolan lensa tua ini, menjadi sebagai berikut:
- Nikkor AI-s 35mm f/2 (Nikon F)
- Revuenon Special 35mm f/2.8 (Pentax-Praktika M42)
- Nikkor AI-s 50mm f/1.4 (Nikon F)
- MC Minolta PG 50mm f/1.4 (Minolta MD)
- Super Takumar 50mm f/1.4 (Pentax-Praktika M42)
- Pentacon 50mm f/1.8 (Praktika M42)
- Auto Revuenon 55mm f/1.7 (Pentax-Praktika M42)
- Tamron BBar 105mm f/2.8 (Pentax-Praktika M42)
- Revuenon Special 135mm f/2.8 (Pentax-Praktika M42)
- Nikkor-Q pre-AI 200mm f/4 (Nikon F)
- Tamron 300mm f/5.6 (Pentax-Praktika M42)

Sebenarnya masih terbersit keinginan untuk mencari fokus 20mm, 28mm dan 85mm, tapi tentu saja saya harus bersabar karena penjual lensa golongan ini termasuk jarang dan bila ada harganyapun kadang tidak masuk akal untuk golongan lensa tua. Juga kadang terlintas untuk memiliki DSLR Olympus dengan flange nya yang pendek agar lensa-lensa Canon FD dan Minolta MD yang saya miliki dapat dimanfaatkan, tapi jelas bukan dalam waktu dekat ini.

Tapi yang jelas, dengan berbekal lensa-lensa manual fokus itu dan DSLR Nikon D40 setidaknya saya semakin tertarik ke dunia fotografi, khususnya fotografi 'model' klasik dengan peralatan yang menyerupai kondisi zaman analog dulu.

Saturday, April 11, 2009

Nikon D40




Ada beberapa DSLR untuk segment pemula dengan harga yang cukup ekonomis dikisaran 5 juta rupiah (termasuk lensa kitnya), diantaranya Nikon D40, Canon 400D, Sony Alpha 200, Pentax 100K dan Olympus E400. Bila kita akan memilih DSLR, yang menjadi pertimbangan awal bagi saya adalah kelengkapan dan aksesori yang sudah kita miliki, sedapat mungkin lensa-lensa lama yang ada masih dapat dipergunakan pada kamera DSLR yang akan kita beli. Walaupun sekarang banyak dijual adapater untuk lensa-lensa lama agar bisa dipasangkan pada kamera digital modern, namun tetap saja kecocokan sistem lebih disarankan, khususnya pada merk Nikon, Pentax atau mungkin juga Sony (yang memakai sistem Minolta).

Dari kesemua pilihan diatas, Nikon menjadi pilihan utama saya mengingat ada beberapa lensa lama yang sudah saya miliki dengan bayonet Nikon. Berangkat dari situ pilihan saya jatuh pada Nikon D40, sebuah DSLR 'mini' bersensor 6 Megapixel. Saya katakan mini karena memang ukurannya yang tergolong kecil untuk SLR, hampir menyamai DSLR Olympus yang menganut sensor berformat 4/3, walaupun D40 sebenarnya masih tetap menggunakan sensor ukuran sekitar 22x15 mm (dengan croping factor 1,5). Bandingkan dengan sensor full frame (sama dengan ukuran film 35mm) yang berukuran 20x30 mm.

Dari informasi di internet yang berhasil saya kumpulkan, Nikon D40 termasuk kamera pemula yang memadai dalam hal kehalusan hasil fotonya karena 6 Mpix sudah dirasa cukup untuk keperluan fotografer amatir yang umumnya tidak akan mencetak lebih besar dari ukuran 20x30 cm. Lagi pula dengan ukuran sensor yang sedemikian adalah tidak bagus bila 'dipaksa' memasukkan lebih banyak pixel sensor cahaya karena justru akan mengurangi performa nya karena sensor akan cepat menjadi panas. Nikon D200 sebenarnya sempat terpikirkan mengingat pada tipe ini pengukur cahaya masih dapat berfungsi meskipun kita menggunakan lensa manual fokus keluaran lama (seperti lensa-lensa yang saya miliki...), tapi harganya yang mendekati 8 juta rupiah dalam kondisi bekas membuat saya ragu apakah cukup rasional memgeluarkan dana sebesar itu untuk DSLR pertama saya. Sama seperti waktu pertama saya memutuskan membeli kamera prosumer digital, dimana saya memutuskan memilih tipe lama dengan harga relatif murah untuk mengenali kebutuhan apa yang saya inginkan dari kemera digital dan ternyata pilihan saya tepat dengan tidak memilih tipe prosumer termahal saat itu, karena setelah 6 bulan memakai prosumer saya memutuskan menggantinya dengan DSLR dikarenakan alasan-alasan tertentu.


Kembali ke Nikon D40, kendala utama untuk mendapatkan kamera idaman ini adalah karena saat itu (Januari 2009) kamera ini sudah tidak dikeluarkan lagi oleh distributor resminya (discontinue). Lagi-lagi saya dihadapkan kepada pilihan alternatif, mengambil seri baru dari Nikon untuk pemula yaitu Nikon D40x / D60, atau memilih membeli D40 dalam kondisi bekas. Nikon D40x tidak banyak berbeda dengan D40 hanya ada tambahan fasilitas pembersih sensor, sedangkan D60 ada tambahan menjadi 10 Megapixel. Jujur saja saya sangat dipengaruhi oleh review dari Ken Rocwell dari situsnya http://www.kenrockwell.com/nikon/d60.htm yang mana D40 sangat diunggulkan melebihi tipe penerusnya, dilihat dari segi fungsi dan harganya. Oleh karena itu akhirnya saya putuskan tetap memilih Nikon D40 walaupun harus membelinya dalam kondisi bekas, namun hal ini juga menguntungkan mengingat saya bisa menghemat budget karena sebagaimana umumnya barang elektronik, kondisi bekas kamera DSLR memang mengalami penurunan harga yang cukup banyak.

Berburu di internet untuk mendapatkan Nikon D40 yang masih dalam masa garansi (resmi) dan juga dengan harga jual yang wajar, termasuk gampang-gampang susah. Apalagi kita juga harus memilih calon penjualnya apakah sudah mempunyai reputasi yang baik dalam hal jual beli di internet. Beberapa situs fotografi seperti Bursa Fotografer.Net sangat membantu sistem jual beli on-line dengan mengharuskan adanya identifikasi KTP untuk setiap anggotanya, sehingga mengurangi kemungkinan penipuan kerena identifikasi penjual dan pembeli yang jelas. Akhirnya pilihan jatuh pada D40 body only dengan kondisi lumayan, shutter count belasan ribu, garansi 6 bulan kedepan dengan harga paling rendah (di bawah 4jt rupiah).

Dua hari setelah transaksi akhirnya D40 itu datang juga, hmm... sesuai dengan yang ditawarkan di internet dan menurut saya amat memadai untuk harganya yang termasuk rendah. Fungsi semua normal, namun belum dapat saya test autofokus karena memang saya belum punya lensa autofokus yang sesuai dengan kamera ini, sementara saya pasangkan lensa-lensa manual fokus lama saya pada bayonet nya....pas dan dapat berfungsi walaupun tanpa pengukur cahaya dan hanya bisa berfungsi di mode full manual. Pengaturan fokus agak sulit karena viewfindernya bukan jenis split image, tapi dengan adanya bantuan rangefinder elektronik yang akan menampilkan bulatan kecil kuning bila fokus sudah tepat amat membantu dalam hal mendapatkan fokus yang tepat dengan lensa manual fokus.

Untuk menyiasati tidak adanya pengukur cahaya, saya membiasakan diri dengan kondisi ISO dan bukaan lensa yang tetap, jadi kita hanya menyesuaikan kecepatan bukaan rana dengan kondisi pencahayaan. Baru kemudian kita atur ulang kombinasi bukaan diagfragma dan shutter speed nya bila menginginkan bukaan lensa yang khusus (untuk mendapatkan DOF yang sempit misalnya..), sama persis dengan waktu dulu saya memakai kamera analog lama yang tanpa dilengkapi dengan pengukur cahaya, dan hanya berpatokan dengan kondisi sinar matahari langsung, berawan atupun dibawah pohon, seperti yang ada disetiap kotak pembungkus film jaman dulu. Sekarang masih untung kita bisa langsung melihat hasilnya di LCD dan melakukan koreksi pencahayaan bila perlu, meskipun sering kita kehilangan moment untuk itu, tapi tetap saja saya merasa sudah mendapat kemudahan dibandingkan dengan memakai kamera analog. Dan yang terpenting saya mendapatkan semua sensasi kamera analog tanpa harus keluar biaya untuk membeli film !!

Akhirnya dengan kamera DSLR Nikon D40 plus lensa-lensa manual fokus ini saya merasakan mendapatkan semua sensasi yang rasakan dulu dengan memakai kamera analog, benar-benar saya sudah 'kembali' bermain-main dengan dunia fotografi, entah apa lagi yang akan saya inginkan setelah ini........

Wednesday, April 8, 2009

Prosumer memang bukan SLR.

Setelah 6 bulan ditemani kamera prosumer Fujifinepix S9600, akhirnya saya putuskan untuk beralih ke kamera DSLR, digital single lens reflex. Alasan utama untuk berpindah ke kamera DSLR mungkin adalah belum terpenuhinya 'rasa' yang pernah amat saya nikmati dulu ketika masih bermain dengan kamera SLR analog.


Bagaimana ketika kita menemukan obyek yang dirasa menarik lalu mulai mengintip dari jendela intip sambil melakukan pencarian fokus dengan memutar-mutar gelang fokus di lensa, sekaligus mencari komposisi yang dirasa pas untuk obyek itu. Setelah fokus didapat, mulailah memperhatikan informasi dari pengukur cahaya yang ada di dalam jendela intip itu sekaligus memilih kombinasi kecepatan rana dan bukaan lensa yang dirasa pas untuk mendukung obyek utama kita, apakah akan memakai DOF yang sempit, blur, siluet, panning dsb.... terakhir, menunggu moment eksekusi rana ....dan 'cekrek'.....selesai. Benar-benar suatu sensasi yang sulit digambarkan dengan kata-kata, bagaimana keasyikan kita berlama-lama mengintip di viewfinder sambil melakukan focusing dan metering, mengatur komposisi ....dst, dst, dst....

Semua itu belum saya dapatkan secara utuh pada Fujifinepix S9600 yang menggunakan viewfinder elektronik seperti pada kamera video, bukannya jenis optik seperti pada SLR. Dan juga juga pengaturan bukaan lensa, bila dulu diatur dari lensa sekarang dilakukan dengan menggeser-geser tombol di badan kamera, terasa kurang nyaman untuk saya! Pengaturan kecepatan rana, bolehlah dilakukan di badan kamera tapi kalau pengaturan bukaan lensa juga diatur dari badan kamera ....uughh, amat terasa tidak 'normal' ! Yang lebih parah adalah masalah pencarian fokus yang lebih mengandalkan pencarian fokus automatis daripada secara manual dengan memutar gelang fokus di lensa sambil memperhatikan kejelasan obyek di viewfinder (optik), sangat tidak nyaman......sulit melakuan fokus yang tepat, berubah bila dilakukan zoom, tidak adanya penunjuk jarak di lensa dan petunjuk lebar ruang tajam pada bukaan tertentu di lensa. Saya benar-benar kehilangan semua itu !!


Dari segi hasil fotonya sebenarnya tidak mengecewakan, saturasi warna pas, detail cukup, fokus automatis cukup presisi walau agak lambat, pengukur cahaya amat presisi. Apalagi adanya mode khusus potrait, landscape, night photo, indoor dsb yang sangat memudahkan pemakaian. Semua itu membuat penggunaan kamera S9600 ini sangat mudah, sama mudahnya seperti kamera point-and-shoot, dimana kita hanya mengarahkan ke obyek, komposisi....tekan tombol rana dan jadi! Tapi bukan itu yang saya cari di dunia fotografi.

Untuk memuaskan rasa yang hilang itu, saya coba mencari kamera analog kuno yang 'mur-mer', murah meriah, di internet. Pilihan jatuh pada kamera Minolta SR-T 101 yang saya tebus lengkap dengan satu lensa standar 50mm dan zoom 35-105mm nya. Terasa gemetar saya memainkan kamera tua ini di tangan saya, apalagi beratnya yang lebih dari 1 kg sangat mengingatkan saya dengan kamera-kamera lama saya dulu. "Ini yang saya cari" demikian pikiran saya waktu itu. Langsung malam itu juga kamera yang sudah agak kacau balau fisiknya itu saya bersihkan dan di periksa fungsi-fungsinya. Ternyata pengukur cahayanya sudah tidak berfungsi, tombol pengatur kecepatan perlu di bongkar sedikit tapi bolehlah......mekanikalnya masih berfungsi semua. Lensanya hmmm......50mm tidak terlalu baik ada cacat optik di pinggirnya tapi masih lumayan juga. Lensa zoom nya masih cukup baik, optik dan fisik nya cukup menggembirakan. Saya tidak begitu peduli dengan penampilan kamera tua ini, yang saya rasakan saat itu hanyalah kegembiraan luar biasa saat mengintip di viewfinder nya, walau agak kotor tapi itu viewfinder optik! Terang dan jelas, tanpa ada kendala lag dan bias elektronik. Apalagi ketika kita menekan tombol rana, .....'crek!' ..... benar-benar suara yang sangat saya rindukan. Tidak sabar rasanya menunggu hari esok untuk membeli film dan mencoba kamera ini.


Tapi kesenangan itu rupanya belum mencapai puncaknya, karena menimbang mahalnya harga film dan biaya cuci cetaknya. Satu rol film berwarna isi 36 plus cuci cetak ukuran 4R bisa memakan biaya hampir 150 ribu !! Sangat tidak ekonomis, jadi apa akal? Jawabannya jelas, digital SLR. Mau tidak mau memang saya harus bermain dengan DSLR bila ingin kembali menikmati fotografi seperti dulu lagi. Akhirnya Minolta SR-T 101 ini saya simpan saja di lemari khusus alat-alat fotografi saya, walau bagaimanapun kamera ini sudah menunjukkan kepada saya bahwa memang nuansa SLR tidak dapat digantikan dengan kamera prosumer, walaupun prosumer nya adalah jenis yang paling 'mirip' dengan SLR sekalipun.

Maka sejak bulan Januari 2009 itu, mulailah saya berburu info tentang DSLR, tentu saja dengan bugdet yang masih saya anggap rasional untuk sebuah hobby......

Sunday, January 4, 2009

Fujifinepix S9600

Sebagai penggemar fotografi, memiliki kamera SLR digital sudah pasti menjadi impian, begitu juga bagi saya. Tapi karena anggaran untuk hobby belum mencukupi terpaksa impian itu tinggal impian sampai saat ini. Setelah lama ditemani oleh kamera saku digital Canon beresolusi 4 mpix, pertengahan tahun ini (2008) saya berniat mencari kamera yang lebih serius walaupun bukan SLR digital tapi setidaknya mempunyai pengaturan manual sehingga dapat melampiaskan hobby fotografi yang sudah lama bersifat 'dormant' atau mati suri ini.

Langkah pertama jelas.... menghitung amunisi kantong. Setelah kumpul dari sana sini, terkumpul juga sebesar 5 juta rupiah. Hmmm.. tidak banyak, mengingat mungkin saya harus membuat sistem baru secara lengkap. Saat itu DSLR low end yang adalah Nikon dengan D40 nya (sekitar 5jt utk kit dgn zoom pendek), Canon dengan 40D nya ( juga sekitar 5 jt kit), Pentax dengan K10 (4,5 jt kit), Olympus dan Sony (Minolta) juga dengan kisaran harga yang sama.

Dari semua merek tersebut, jelas Nikon menjadi target utama karena memang dari jaman kamera selenoid Nikon 'agama' saya, walaupun sesekali melenceng ke Canon sebagai pembanding, namun dominasi Nikon di sistem yang saya miliki tetap diatas Canon. Namun sayang sekali, saya belum 'berani' mencoba langsung ke DSLR saat itu, karena merasa belum mengenal baik dunia SLR digital, padahal bila kita sudah memilih merek maka kemungkinan besar itulah 'agama' kita seterusnya..... apalagi bagi saya yang tidak mempunyai anggaran berlebih untuk membangun beberapa sistem sekaligus. Dengan pertimbangan itulah keingingan mempunyai kamera DSLR terpaksa dipendam lagi dalam lubuk hati yang paling dalam (*** semoga pertimbangan ini tepat untuk saat ini... ). Sebagai gantinya, pilihan saya jatuh ke kamera prosumer, jenis kamera digital dengan fasilitas mirip SLR tapi tidak dapat diganti lensanya dan tentu saja tidak mempunyai cermin reflex sehingga harus puas dengan viewfinder elektronik seperti pada kamera film (camcorder).

Tapi keuntungan kamera prosumer, dengan harga relatif lebih murah, umumnya kamera jenis ini dilengkapi dengan lensa zoom dengan rentang yang cukup luas untuk pemakaian sehari-hari, dan juga adanya fasilitas live-view di layar lcd nya. Kelemahan utama dari kamera non SLR adalah sensor yang lebih cepat panas karena terus menerus menerima cahaya, berbeda dengan SLR yang hanya mendapat cahaya saat rana terbuka saja. Hal tersebut menyebabkan penurunan kwalitas gambar yang didapat, terkadang timbul noise yang mengganggu sehingga kita harus mendinginkan dulu sensornya dengan mematikan kamera. Itu sangat menggangu karena sering kali kita kehilangan moment, dan juga pada saat pengambilan foto dengan bukaan yang lama (diatas 3 detik), sering terjadi gangguan karena sensor terlalu lama mendapat cahaya. Selain masalah sensor, focus juga menjadi isue penting pada prosumer. Kerja auto focus umumnya lebih lambat dibandingkan SLR, dan yang lebih parah..... manual fokus sangat tidak nyaman dilakukan dengan bantuan viewfinder elektronik seperti ini, sangat beda dengan viewfinder optik pada SLR. Memang..... harga menentukan kwalitas.

Kamera prosumer pada dasarnya adalah kamera saku yang dilengkapi dengan lensa yang lebih kuat dengan rentang zoom yang lebih besar. Besar sensor tidak berbeda dengan kamera saku, sehingga walaupun dikatakan dapat mencapai resolusi diatas 10 mpix, namun dengan ukuran sensor yang segitu-segitu saja sudah pasti hasil yang didapat dari hasil pemadatan 'paksa' resolusinya tidak akan sebagus SLR dengan sensor besar...apalagi bila dibandingkan dengan kamera full-frame, yaitu kamera dengan sensor seukuran film selenoid (2x3 cm). Soal sensor ini juga yang membuat saya memilih Fuji sebagai merek pilihan untuk kamera prosumer saya, karena teknologi Super CCD dari Fuji dipercaya mempunyai rentang kontras dan daya pisah yang paling luas dibandingkan dengan teknologi yang diterapkan di merek lain. Hal mana sangat dominan saat digunakan di studio dengan pencahayan buatan. Super CCD dengan trik membuat pixel besar kecil secara selang seling dengan fungsi sensitifitas yang berbeda antara pixel besar dan kecil memungkinkannya untuk menangkap gambar dengan lebar jangkauan kontras yang lebih besar. Salut untuk Fuji dengan Super CCD nya.......

Soal kwalitas optik, Fuji memang kalah dari merek papan atas lainya untuk kamera jenis lowend seperti ini. Karena sebenarnya Hasselblad juga memakai lensa Fujinon untuk kameranya, hal mana membuktikan kwalitas optik Fujinon sebenarnya tidak kalah dengan merek lain soal daya pisah cahayanya, hanya saja tentu saja untuk lensa-lensa papan atas dengan harga yang cukup tinggi pula. Satu hal yang saya suka dari lensa pada kamera prosumer Fuji adalah gelang pengatur zoom yang manual seperti pada kamera SLR. Ini mempunyai dua keunggulan, yaitu kecepatan respon terhadap obyek dan juga penghematan daya baterei karena tidak perlu motor penggerak untuk zoom di lensa. Selain Fuji, Panasonic dengan Lumix nya juga mempunyai gelang pengatur zoom seperti SLR apa lagi dengan lensa Leicanya, Lumix memang menjadi pesaing Fuji saat saya memilih kamera ini. Kelemahan Lumix hanyalah soal sensor yang sangat noisly, apalagi dibandingkan dengan Super CCD dari Fuji.

Saat itu ada beberapa kamera yang jadi incaran,
- Fuji Finepix 1000IS (harga terlalu tinggi, sekitar 6jt...... lebih baik SLR ? )
- Panasonic Lumix (sensor mengecewakan pada ISO diatas 400 padahal lensa bagus)
- Fuji Finepix S9600 (harga masuk, tapi sudah discontinued )
- Olympus ..... (zoom panjang tapi lcd tidak tilting)
- Canon G9 (lcd tidak tilt dan tidak ada gelang zoom)
- Canon S510 (tidak ada gelang zoom)

Akhirnya pilihan jatuh ke Fuji dengan pertimbangan sbb :
- Gelang zoom manual
- Zoom 12x (eq. 28 - 400 mm)
- Tilting LCD (untuk sudut sulit, Lumix lebih bagus sistem tilting lcd nya !! )
- Hot shoe standar
- Sensor Super CCD
- Baterei standar AA 4 buah
- Harga lebih murah
- Fuji memakai Nikon sebagai dasar kamera DSLR nya (fanatik merek bro... )
- Ukuran, berat dan penampilan yang mirip kamera SLR
- Layanan service Fuji yang cukup luas
- Ulir untuk cable release pada tombol rana (kabel release lama bisa terpakai nih..)
- Live view plus live histogram
- Electronic view finder yang cukup terang (>200k warna)
- Konektor untuk kabel flash
- Dual memory card (xD dan CF)




Dengan mengingat segala macam pertimbangan, akhirnya saya putuskan memilih Fuji S9600 yang sudah diskontinu, artinya harus cari barang bekas ! Ini benar benar dilema lagi karena memilih barang bekas untuk kamera digital adalah sangat beresiko mengingat kamera digital adalah barang elektronik dan juga mempunyai bagian optik yang peka dengan kerusakan saat pemakaian. Jadi target saya adalah mencari barang bekas yang masih bergaransi, sehingga akan lebih aman bila ada masalah setelah transaksi nanti.

Dari internet saya dapat beberapa orang yang berniat menjual S9600 ini dengan harga yang masuk akal, kebetulan salah satunya berlokasi dekat dengan tempat kerja saya. Tidak pikir dua kali pulang kerja (setelah sebelumnya bikin janji via telepon) walaupun sempat meleset karena pulang kemalaman, jam 21.00 saya mampir ke tempat si penjual di daerah Permata Hijau. Lansung bertemu dan karena memang si penjual adalah penggemar dan juga profesional di bidang fotografi, saya tidak ragu tentang bagaimana kamera ini dirawat dan diperlakukan, saya tidak ragu lagi untuk langsung memboyong pulang Fuji Finepix S9600 idaman ini lengkap dengan kelengkapan aslinya dan bonus filter PLC (trims buat mas Teguh!). Sayang sekali karena dana yang ada pas-pasan, jadi kartu memory yang ditawarkan dan sebenarnya sangat saya butuhkan tidak saya ambil sekalian.


Sampai di rumah langsung saya amati secara detail kamera tersebut, dan saya coba dengan kartu memory yang saya punya, sayang sekali belum dapat bekerja karena kartu memory saya sudah di format untuk PDA, jadi harus bersabar sampai saya dapat membeli kartu memory yang baru. Dua hari kemudian baru saya dapat jalan-jalan mencari kelengkapan pendudungnya, yaitu filter skylight (PLC menurunkan dua stop) untuk proteksi harian, baterei NiMH (ada tempat di Jatinegara yang punya barang bagus untuk baterei!) dan tentu saja kartu memory yang cukup cepat untuk kamera baru saya.

Sorenya baru saya bisa mencoba dengan puas si S9600 ini, semua berfungsi bagus! Weekend nya kami sekeluarga ke Bandung, langsung saya bawa kamera ini untuk percobaan lapangan, disanalah saya temui kelemahan prosumer soal sensor saat memotret malam hari dengan bukaan panjang dan juga masalah fokus baik manual maupun automatik seperti saya tulias diatas. Tapi secara keseluruhan saya puas dengan kamera ini, apa lagi didapat dengan harga yang sangat miring (untuk barang yang masih bergaransi 10 bulan kedepan!). Benar-benar kamera prosumer yang berkwalitas, sangat cocok untuk saya yang sudah pernah kenal fotografi dan berniat mengenal fotografi digital secara mendalam sebelum beralih ke DSLR.

Semoga dengan kamera ini hobby fotografi saya dapat kembali seperti dulu, dan siapa tahu suatu saat saya berkesempatan mendapatkan kamera DSLR...... semoga saja.... :)

Friday, December 19, 2008

Aku dan kameraku

'Mencetak foto berwarna'....... itu judul buku yang di baca kakakku ketika kami masih duduk di bangku SMP di awal th 1980-an, dan buku itu juga yang membuatku tertarik dengan dunia fotografi. Dengan bermodalkan kamera SLR merek Canon milik Bapak, kita berdua mulai mencoba bereksperimen.


*** Bersambung....