Sunday, January 4, 2009

Fujifinepix S9600

Sebagai penggemar fotografi, memiliki kamera SLR digital sudah pasti menjadi impian, begitu juga bagi saya. Tapi karena anggaran untuk hobby belum mencukupi terpaksa impian itu tinggal impian sampai saat ini. Setelah lama ditemani oleh kamera saku digital Canon beresolusi 4 mpix, pertengahan tahun ini (2008) saya berniat mencari kamera yang lebih serius walaupun bukan SLR digital tapi setidaknya mempunyai pengaturan manual sehingga dapat melampiaskan hobby fotografi yang sudah lama bersifat 'dormant' atau mati suri ini.

Langkah pertama jelas.... menghitung amunisi kantong. Setelah kumpul dari sana sini, terkumpul juga sebesar 5 juta rupiah. Hmmm.. tidak banyak, mengingat mungkin saya harus membuat sistem baru secara lengkap. Saat itu DSLR low end yang adalah Nikon dengan D40 nya (sekitar 5jt utk kit dgn zoom pendek), Canon dengan 40D nya ( juga sekitar 5 jt kit), Pentax dengan K10 (4,5 jt kit), Olympus dan Sony (Minolta) juga dengan kisaran harga yang sama.

Dari semua merek tersebut, jelas Nikon menjadi target utama karena memang dari jaman kamera selenoid Nikon 'agama' saya, walaupun sesekali melenceng ke Canon sebagai pembanding, namun dominasi Nikon di sistem yang saya miliki tetap diatas Canon. Namun sayang sekali, saya belum 'berani' mencoba langsung ke DSLR saat itu, karena merasa belum mengenal baik dunia SLR digital, padahal bila kita sudah memilih merek maka kemungkinan besar itulah 'agama' kita seterusnya..... apalagi bagi saya yang tidak mempunyai anggaran berlebih untuk membangun beberapa sistem sekaligus. Dengan pertimbangan itulah keingingan mempunyai kamera DSLR terpaksa dipendam lagi dalam lubuk hati yang paling dalam (*** semoga pertimbangan ini tepat untuk saat ini... ). Sebagai gantinya, pilihan saya jatuh ke kamera prosumer, jenis kamera digital dengan fasilitas mirip SLR tapi tidak dapat diganti lensanya dan tentu saja tidak mempunyai cermin reflex sehingga harus puas dengan viewfinder elektronik seperti pada kamera film (camcorder).

Tapi keuntungan kamera prosumer, dengan harga relatif lebih murah, umumnya kamera jenis ini dilengkapi dengan lensa zoom dengan rentang yang cukup luas untuk pemakaian sehari-hari, dan juga adanya fasilitas live-view di layar lcd nya. Kelemahan utama dari kamera non SLR adalah sensor yang lebih cepat panas karena terus menerus menerima cahaya, berbeda dengan SLR yang hanya mendapat cahaya saat rana terbuka saja. Hal tersebut menyebabkan penurunan kwalitas gambar yang didapat, terkadang timbul noise yang mengganggu sehingga kita harus mendinginkan dulu sensornya dengan mematikan kamera. Itu sangat menggangu karena sering kali kita kehilangan moment, dan juga pada saat pengambilan foto dengan bukaan yang lama (diatas 3 detik), sering terjadi gangguan karena sensor terlalu lama mendapat cahaya. Selain masalah sensor, focus juga menjadi isue penting pada prosumer. Kerja auto focus umumnya lebih lambat dibandingkan SLR, dan yang lebih parah..... manual fokus sangat tidak nyaman dilakukan dengan bantuan viewfinder elektronik seperti ini, sangat beda dengan viewfinder optik pada SLR. Memang..... harga menentukan kwalitas.

Kamera prosumer pada dasarnya adalah kamera saku yang dilengkapi dengan lensa yang lebih kuat dengan rentang zoom yang lebih besar. Besar sensor tidak berbeda dengan kamera saku, sehingga walaupun dikatakan dapat mencapai resolusi diatas 10 mpix, namun dengan ukuran sensor yang segitu-segitu saja sudah pasti hasil yang didapat dari hasil pemadatan 'paksa' resolusinya tidak akan sebagus SLR dengan sensor besar...apalagi bila dibandingkan dengan kamera full-frame, yaitu kamera dengan sensor seukuran film selenoid (2x3 cm). Soal sensor ini juga yang membuat saya memilih Fuji sebagai merek pilihan untuk kamera prosumer saya, karena teknologi Super CCD dari Fuji dipercaya mempunyai rentang kontras dan daya pisah yang paling luas dibandingkan dengan teknologi yang diterapkan di merek lain. Hal mana sangat dominan saat digunakan di studio dengan pencahayan buatan. Super CCD dengan trik membuat pixel besar kecil secara selang seling dengan fungsi sensitifitas yang berbeda antara pixel besar dan kecil memungkinkannya untuk menangkap gambar dengan lebar jangkauan kontras yang lebih besar. Salut untuk Fuji dengan Super CCD nya.......

Soal kwalitas optik, Fuji memang kalah dari merek papan atas lainya untuk kamera jenis lowend seperti ini. Karena sebenarnya Hasselblad juga memakai lensa Fujinon untuk kameranya, hal mana membuktikan kwalitas optik Fujinon sebenarnya tidak kalah dengan merek lain soal daya pisah cahayanya, hanya saja tentu saja untuk lensa-lensa papan atas dengan harga yang cukup tinggi pula. Satu hal yang saya suka dari lensa pada kamera prosumer Fuji adalah gelang pengatur zoom yang manual seperti pada kamera SLR. Ini mempunyai dua keunggulan, yaitu kecepatan respon terhadap obyek dan juga penghematan daya baterei karena tidak perlu motor penggerak untuk zoom di lensa. Selain Fuji, Panasonic dengan Lumix nya juga mempunyai gelang pengatur zoom seperti SLR apa lagi dengan lensa Leicanya, Lumix memang menjadi pesaing Fuji saat saya memilih kamera ini. Kelemahan Lumix hanyalah soal sensor yang sangat noisly, apalagi dibandingkan dengan Super CCD dari Fuji.

Saat itu ada beberapa kamera yang jadi incaran,
- Fuji Finepix 1000IS (harga terlalu tinggi, sekitar 6jt...... lebih baik SLR ? )
- Panasonic Lumix (sensor mengecewakan pada ISO diatas 400 padahal lensa bagus)
- Fuji Finepix S9600 (harga masuk, tapi sudah discontinued )
- Olympus ..... (zoom panjang tapi lcd tidak tilting)
- Canon G9 (lcd tidak tilt dan tidak ada gelang zoom)
- Canon S510 (tidak ada gelang zoom)

Akhirnya pilihan jatuh ke Fuji dengan pertimbangan sbb :
- Gelang zoom manual
- Zoom 12x (eq. 28 - 400 mm)
- Tilting LCD (untuk sudut sulit, Lumix lebih bagus sistem tilting lcd nya !! )
- Hot shoe standar
- Sensor Super CCD
- Baterei standar AA 4 buah
- Harga lebih murah
- Fuji memakai Nikon sebagai dasar kamera DSLR nya (fanatik merek bro... )
- Ukuran, berat dan penampilan yang mirip kamera SLR
- Layanan service Fuji yang cukup luas
- Ulir untuk cable release pada tombol rana (kabel release lama bisa terpakai nih..)
- Live view plus live histogram
- Electronic view finder yang cukup terang (>200k warna)
- Konektor untuk kabel flash
- Dual memory card (xD dan CF)




Dengan mengingat segala macam pertimbangan, akhirnya saya putuskan memilih Fuji S9600 yang sudah diskontinu, artinya harus cari barang bekas ! Ini benar benar dilema lagi karena memilih barang bekas untuk kamera digital adalah sangat beresiko mengingat kamera digital adalah barang elektronik dan juga mempunyai bagian optik yang peka dengan kerusakan saat pemakaian. Jadi target saya adalah mencari barang bekas yang masih bergaransi, sehingga akan lebih aman bila ada masalah setelah transaksi nanti.

Dari internet saya dapat beberapa orang yang berniat menjual S9600 ini dengan harga yang masuk akal, kebetulan salah satunya berlokasi dekat dengan tempat kerja saya. Tidak pikir dua kali pulang kerja (setelah sebelumnya bikin janji via telepon) walaupun sempat meleset karena pulang kemalaman, jam 21.00 saya mampir ke tempat si penjual di daerah Permata Hijau. Lansung bertemu dan karena memang si penjual adalah penggemar dan juga profesional di bidang fotografi, saya tidak ragu tentang bagaimana kamera ini dirawat dan diperlakukan, saya tidak ragu lagi untuk langsung memboyong pulang Fuji Finepix S9600 idaman ini lengkap dengan kelengkapan aslinya dan bonus filter PLC (trims buat mas Teguh!). Sayang sekali karena dana yang ada pas-pasan, jadi kartu memory yang ditawarkan dan sebenarnya sangat saya butuhkan tidak saya ambil sekalian.


Sampai di rumah langsung saya amati secara detail kamera tersebut, dan saya coba dengan kartu memory yang saya punya, sayang sekali belum dapat bekerja karena kartu memory saya sudah di format untuk PDA, jadi harus bersabar sampai saya dapat membeli kartu memory yang baru. Dua hari kemudian baru saya dapat jalan-jalan mencari kelengkapan pendudungnya, yaitu filter skylight (PLC menurunkan dua stop) untuk proteksi harian, baterei NiMH (ada tempat di Jatinegara yang punya barang bagus untuk baterei!) dan tentu saja kartu memory yang cukup cepat untuk kamera baru saya.

Sorenya baru saya bisa mencoba dengan puas si S9600 ini, semua berfungsi bagus! Weekend nya kami sekeluarga ke Bandung, langsung saya bawa kamera ini untuk percobaan lapangan, disanalah saya temui kelemahan prosumer soal sensor saat memotret malam hari dengan bukaan panjang dan juga masalah fokus baik manual maupun automatik seperti saya tulias diatas. Tapi secara keseluruhan saya puas dengan kamera ini, apa lagi didapat dengan harga yang sangat miring (untuk barang yang masih bergaransi 10 bulan kedepan!). Benar-benar kamera prosumer yang berkwalitas, sangat cocok untuk saya yang sudah pernah kenal fotografi dan berniat mengenal fotografi digital secara mendalam sebelum beralih ke DSLR.

Semoga dengan kamera ini hobby fotografi saya dapat kembali seperti dulu, dan siapa tahu suatu saat saya berkesempatan mendapatkan kamera DSLR...... semoga saja.... :)