Wednesday, April 8, 2009

Prosumer memang bukan SLR.

Setelah 6 bulan ditemani kamera prosumer Fujifinepix S9600, akhirnya saya putuskan untuk beralih ke kamera DSLR, digital single lens reflex. Alasan utama untuk berpindah ke kamera DSLR mungkin adalah belum terpenuhinya 'rasa' yang pernah amat saya nikmati dulu ketika masih bermain dengan kamera SLR analog.


Bagaimana ketika kita menemukan obyek yang dirasa menarik lalu mulai mengintip dari jendela intip sambil melakukan pencarian fokus dengan memutar-mutar gelang fokus di lensa, sekaligus mencari komposisi yang dirasa pas untuk obyek itu. Setelah fokus didapat, mulailah memperhatikan informasi dari pengukur cahaya yang ada di dalam jendela intip itu sekaligus memilih kombinasi kecepatan rana dan bukaan lensa yang dirasa pas untuk mendukung obyek utama kita, apakah akan memakai DOF yang sempit, blur, siluet, panning dsb.... terakhir, menunggu moment eksekusi rana ....dan 'cekrek'.....selesai. Benar-benar suatu sensasi yang sulit digambarkan dengan kata-kata, bagaimana keasyikan kita berlama-lama mengintip di viewfinder sambil melakukan focusing dan metering, mengatur komposisi ....dst, dst, dst....

Semua itu belum saya dapatkan secara utuh pada Fujifinepix S9600 yang menggunakan viewfinder elektronik seperti pada kamera video, bukannya jenis optik seperti pada SLR. Dan juga juga pengaturan bukaan lensa, bila dulu diatur dari lensa sekarang dilakukan dengan menggeser-geser tombol di badan kamera, terasa kurang nyaman untuk saya! Pengaturan kecepatan rana, bolehlah dilakukan di badan kamera tapi kalau pengaturan bukaan lensa juga diatur dari badan kamera ....uughh, amat terasa tidak 'normal' ! Yang lebih parah adalah masalah pencarian fokus yang lebih mengandalkan pencarian fokus automatis daripada secara manual dengan memutar gelang fokus di lensa sambil memperhatikan kejelasan obyek di viewfinder (optik), sangat tidak nyaman......sulit melakuan fokus yang tepat, berubah bila dilakukan zoom, tidak adanya penunjuk jarak di lensa dan petunjuk lebar ruang tajam pada bukaan tertentu di lensa. Saya benar-benar kehilangan semua itu !!


Dari segi hasil fotonya sebenarnya tidak mengecewakan, saturasi warna pas, detail cukup, fokus automatis cukup presisi walau agak lambat, pengukur cahaya amat presisi. Apalagi adanya mode khusus potrait, landscape, night photo, indoor dsb yang sangat memudahkan pemakaian. Semua itu membuat penggunaan kamera S9600 ini sangat mudah, sama mudahnya seperti kamera point-and-shoot, dimana kita hanya mengarahkan ke obyek, komposisi....tekan tombol rana dan jadi! Tapi bukan itu yang saya cari di dunia fotografi.

Untuk memuaskan rasa yang hilang itu, saya coba mencari kamera analog kuno yang 'mur-mer', murah meriah, di internet. Pilihan jatuh pada kamera Minolta SR-T 101 yang saya tebus lengkap dengan satu lensa standar 50mm dan zoom 35-105mm nya. Terasa gemetar saya memainkan kamera tua ini di tangan saya, apalagi beratnya yang lebih dari 1 kg sangat mengingatkan saya dengan kamera-kamera lama saya dulu. "Ini yang saya cari" demikian pikiran saya waktu itu. Langsung malam itu juga kamera yang sudah agak kacau balau fisiknya itu saya bersihkan dan di periksa fungsi-fungsinya. Ternyata pengukur cahayanya sudah tidak berfungsi, tombol pengatur kecepatan perlu di bongkar sedikit tapi bolehlah......mekanikalnya masih berfungsi semua. Lensanya hmmm......50mm tidak terlalu baik ada cacat optik di pinggirnya tapi masih lumayan juga. Lensa zoom nya masih cukup baik, optik dan fisik nya cukup menggembirakan. Saya tidak begitu peduli dengan penampilan kamera tua ini, yang saya rasakan saat itu hanyalah kegembiraan luar biasa saat mengintip di viewfinder nya, walau agak kotor tapi itu viewfinder optik! Terang dan jelas, tanpa ada kendala lag dan bias elektronik. Apalagi ketika kita menekan tombol rana, .....'crek!' ..... benar-benar suara yang sangat saya rindukan. Tidak sabar rasanya menunggu hari esok untuk membeli film dan mencoba kamera ini.


Tapi kesenangan itu rupanya belum mencapai puncaknya, karena menimbang mahalnya harga film dan biaya cuci cetaknya. Satu rol film berwarna isi 36 plus cuci cetak ukuran 4R bisa memakan biaya hampir 150 ribu !! Sangat tidak ekonomis, jadi apa akal? Jawabannya jelas, digital SLR. Mau tidak mau memang saya harus bermain dengan DSLR bila ingin kembali menikmati fotografi seperti dulu lagi. Akhirnya Minolta SR-T 101 ini saya simpan saja di lemari khusus alat-alat fotografi saya, walau bagaimanapun kamera ini sudah menunjukkan kepada saya bahwa memang nuansa SLR tidak dapat digantikan dengan kamera prosumer, walaupun prosumer nya adalah jenis yang paling 'mirip' dengan SLR sekalipun.

Maka sejak bulan Januari 2009 itu, mulailah saya berburu info tentang DSLR, tentu saja dengan bugdet yang masih saya anggap rasional untuk sebuah hobby......

No comments:

Post a Comment